Wednesday, March 19, 2014
Dia yang Kau Panggil Sayang, yang Kini Menyakitimu
Ini sudah yang kesekian kalinya dia menangis di bahuku, meneteskan air mata dan segala kesedihannya. Air mata yang mengalir di pipinya, isakan tangis yang tertahan akibat bibirnya yang saling menjepit, napasnya yang kudengar sangat berat ia hembuskan; semua kesedihan itu kusaksikan lewat mimik wajahnya yang dingin dan dengan matanya yang sembab. Kesedihannya yang disebabkan oleh orang yang dicintainya. Kamu. Kekasihnya. Prianya.
Tanganku mengepal kuat. Aku selalu merasa jauh lebih sakit dan lebih tersiksa menyaksikan kesedihannya. Bagaimana bisa kamu, pria yang ia panggil sayang itu dapat menyakiti dan membuatnya sedemikian rupa? Bukankah kamu pria yang katanya begitu manis dan lembut yang menyentuh hatinya dengan cinta?
Aku masih mengingat bagaimana wanita ini begitu bahagia dengan senyum yang mengembang indah ketika pertama kali bercerita bahwa ia kini bersama kamu, pria yang begitu baik padanya. Bagaimana ia bercerita padaku tentang manisnya kamu, pria yang kini menggandeng hatinya. Kemana gambaran manis tentangmu? Kamu, tidak lebih dari seorang pria brengsek yang hanya bisa menyakitinya.
Ia mencoba berhenti menangis. Mengusap air mata yang tak mampu dihentikannya. Aku menyaksikan semua itu, bagaimana ia yang begitu rapuh berusaha tetap tegar setelah segala kesedihannya meluap tak karuan di bahuku. Wajah polos yang kucintai itu, kini kusut karena sikap seseorang yang bahkan tak ingin kulihat wajahnya. Kamu, Pria yang ia panggil sayang itu.
Aku memegang pipinya yang basah, membiarkan mataku tetap menatap matanya yang hampir bengkak karena tangisan. “Berhentilah menangis.” Dua kata itu yang keluar lewat bibirku. Kumohon berhenti. Hatiku memintanya untuk berhenti mengeluarkan air mata. Hatiku tak cukup kuat untuk merasakan apa yang dirasakannya. Berhentilah.
Aku legah melihat reaksinya, ia berhenti menangis walaupun dengan kepala yang tetap bersandar pada bahuku yang basah karena air matanya. Sandaran itu, kutahu betapa berat masalahnya kali ini.
“Maaf yah, harusnya bukan kamu yang aku basahi bahunya dengan air mataku. Harusnya seorang pria yang berjanji diawal akan ada di sisiku saat aku menangis yang kubasahi bahunya dengan air mataku. Maaf, yah. Saat ini aku benar-benar butuh bahumu untuk menangis.” Katanya di saat tangisannya tak lagi membekukan lidahnya untuk bercerita.
“Kamu memang teman yang paling bisa aku andalkan.”
Aku terdiam. Ah, benar. Diantara kita hanya ada status teman. Aku tak bisa berharap lebih pada seorang wanita yang telah mengikatkan hatinya pada pria lain. Pria yang dengan terang-terangan menyakitinya. Menyakiti wanita yang mencintainya dengan tulus dan dengan tulus kucintai diam-diam. Sungguh pria yang begitu beruntung mendapatkan hatinya, dan dengan bodohnya merusak perasaannya.
Aku selalu berusaha sebisa mungkin membuatnya bahagia dan kamu selalu berusaha membuatnya tenggelam dalam sedih. Aku berusaha kuat untuk menjaga senyumnya dan dengan entengnya kamu mengubahnya menjadi air mata. Aku pria yang ia sebut teman yang selalu menjaga hatinya, dan kamu pria yang ia panggil sayang yang selalu menggoreskan luka demi luka di hatinya. Tidakkah kamu tahu betapa beratnya menjadi aku yang mencintainya dan dia malah mencintai kamu yang selalu bisa menjatuhkan air matanya?
Dulu. Sebelum ia datang padaku pertama kali dengan air mata di pipinya. Waktu itu, ia wanita yang kucintai bercerita padaku dengan wajah tersipu malu dan segurat bahagia yang turut aku syukuri. Katanya, ia begitu bahagia bisa menjadi kekasihmu. Katanya, ia begitu senang ketika ternyata kamu punya perasaan yang sama padanya. Perasaan cintanya untukmu, yang selalu tak mampu kurebut dengan segala usahaku. Sejak saat itu, aku selalu berusaha bahagia bersama bahagianya, dan terluka diam-diam di balik bahagianya.
Sejak saat itu pula, ia mulai menghamburi hidupku dengan cerita-cerita manis tentang prianya. Tentang semua perhatian-perhatian kecilmu yang berhasil membuatnya semakin jatuh dalam cintamu. Sesekali ia menunjukkan padaku sms manis dari prianya yang selalu menjadi bacaan favoritnya ketika bersamaku. Ia selalu terlihat fokus pada handphonenya walaupun ada aku yang selalu ingin menjadi pusat fokusnya.
Sekarang, semuanya berubah. Ia tak lagi menyumbat telingaku dengan hal-hal manis yang dulu dipuja-pujanya. Bukan lagi sms romantis yang selalu ia perlihatkan dengan ekspresi malu-malunya yang mampu menggetarkan hatiku. Ia tak lagi fokus pada sms di handphonenya seperti dulu. Semua berbeda.
Sekarang ia hadir dengan wajah sedih yang bercerita betapa berbedanya prianya saat ini. Prianya tak lagi menunjukkan perhatian-perhatian kecil yang dahulu melumpuhkan hatinya. Tak ada lagi senyuman yang timbul karena prianya, tak ada lagi rasa nyaman ketika bersama prianya. Semua tidak seindah dan semanis dulu. Ah, aku turut menyesal. Mengapa pria yang beruntung karena bisa dicintainya itu harus menjadi seseorang yang berbeda?
Sekian banyak hal yang mungkin menyakitinya, mengapa ia masih mencintai pria itu? Bukankah ia sudah tak merasakan nyaman lagi? Apa yang ia pertahankan dari hubungan yang hanya bisa memancing keluar air matanya? Apa yang ia harapkan dari seseorang yang hanya bisa melukainya? Apa yang masih ia cintai dari sosok pria yang merusak semua hal manis yang ia bangga-banggakan?
Aku selalu naik darah jika memikirkan semua hal itu. Mengapa wanita yang begitu kucintai ini tak bisa lagi berpikir rasional tentang pria yang ia panggil sayang namun tak bisa menyayanginya lagi? Mengapa ia masih mau bersandar pada hubungan bersama seorang pria yang tak bisa menepati janji akan menyediakan bahu untuk tempatnya bersandar? Kamu, prinya, bagaimana bisa kamu membuat wanita ini kehilangan akal sehat untuk berlari dan keluar dari lembah gelap yang terus menyengsarakannya? Kamu, kebodohan yang tidak ia sadari.
Ia masih bersandar di bahuku, namun tak lagi menangis. Napasnya sudah jauh lebih teratur. Tatapannya kosong menatap ke satu titik. Mungkinkah saat ini pula ia masih menghayalkan prianya?
“Sampaikan pada kekasihmu, jika ia masih membuatmu menangis, maka aku yang akan membuatnya mengemis padamu. Jika ia tak mampu lagi menjagamu, jangan salahkan aku jika aku berhasil mencurimu darinya.”
Ia hanya tersenyum mendengar semuanya. Mungkin baginya, semua perkataanku hanya lelucon untuk menghiburnya. Baginya, aku temannya yang selalu menghiburnya dengan lelucon. Yah, aku temannya yang selalu memberinya perhatian namun ia artikan sebagai hiburan. Hanya lelucon kecil.
“Katakan pada kekasihmu, aku akan menyembukan luka yang ia buat di hatimu dengan perhatian yang jauh lebih besar dari perhatiannya. Di saat ia memperlihatkan pengabaian padamu, maka akan kutunjukkan kesetiaan yang ia abaikan itu padamu. Karena aku mencintai wanita yang kini ia sakiti, ia lukai.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment